Bismillaahirrahmaanirrahiim....
Judul: Kei
Penulis: Erni Aladjai
Penyunting naskah: Jia Effendie
Tahun terbit: 2013
Penerbit: Gagas Media
Halaman: 254
ISBN: 979-780-649-9
Rating: 4
Kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.
-Pepatah adat Pulau Kei-
Mari kuceritakan kisah sedih tentang kehilangan. Rasa sakit yang merupa serta perih yang menjejakkan duka. Namun, jangan terlalu bersedih. Karena aku akan menceritakan pula tentang harapan. Tentang cinta yang tetap menyetia meski takdir hampir kehilangan pegangan.
Mari kuceritakan tentang orang-orang yang bertemu di baawah langit sewarna biru. Orang-orang yang memilih marah, lalu saling menorehkan luka. Juga kisah orang-orang yang memilih berjalan bersisihan, dengan tetap saling memegang.
Mari, kuceritakan tentang marah, tentang sedih, tentang langit dan senja yang tak searah, juga cinta yang selalu ada dalam tiap cerita.
Mari kuceritakan kisah sedih tentang kehilangan. Rasa sakit yang merupa serta perih yang menjejakkan duka. Namun, jangan terlalu bersedih. Karena aku akan menceritakan pula tentang harapan. Tentang cinta yang tetap menyetia meski takdir hampir kehilangan pegangan.
Mari kuceritakan tentang orang-orang yang bertemu di baawah langit sewarna biru. Orang-orang yang memilih marah, lalu saling menorehkan luka. Juga kisah orang-orang yang memilih berjalan bersisihan, dengan tetap saling memegang.
Mari, kuceritakan tentang marah, tentang sedih, tentang langit dan senja yang tak searah, juga cinta yang selalu ada dalam tiap cerita.
Saat pertama kali lihat covernya, yang ada dibayangan saya itu cowok ganteng, agak kejepangan, populer, dingin tapi pelukable. Nyatanya, Kei adalah sebuah pulau di Maluku yang dekat dengan kota Ambon.
Kei sendiri bercerita tentang kerusuhan tahun 1999. Seingat saya, itu tahun rusuh, krisis moneter. Saya kurang tahu seberapa rusuhnya karena baru tujuh tahun dan alhamdulillah Jepara enggak membara.
Alur cerita maju mundur cantik dari Kei sebelum perang dan sesudahnya. Deskripsi pulau, gunung laut, suasana perang, sukses bikin merinding. Dan kekeluargaan mereka dengan berbagai suku dan agama sangat terasa. Mereka yang Islam melindungi Kristen dan sebaliknya karena mereka memegang teguh pepatah dari leluhur Pulau Kei.
Di samping suasana perang, ada juga kisah kasih tokoh utama, Namira dan Sala. Mereka berbeda, saling jatuh cinta kemudian terpisah. Penggambaran tokoh pas. Dari semangat, sampai rasa ragu mereka.
Endingnya..., ah jangan bicarakan itu. Nyesek! Saya pikir, ah sudah lah. Baca sendiri saja. Layak banget novel ini sebagai Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012.
Bonus nih:
"Orang yang meredakan segala keinginan, bagai air yang reda di dalam lautan, meskipun diisi olehnya namun tak pernah meluap-orang yang demikian inilah yang menemukan kedamaian, bukan orangbyang menuruti keinginan hatinya." Halaman 37
"Satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum perempuan dan kedaulatan batas wilayah. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarangan berkelahi." Halaman 44
"Banyak orang bilang, sejauh mana pun seseorang bertualang atau pergi, dia tetap ingin kembali ke tanah kelahirannya. Itu sudah menjadi naluri dasar setiap manusia." Halaman 230
Kadang kita mudah terhasut dengan omongan orang lain dan membuat perpecahan diantara keluarga. Banyak yang termakan, tapi ada juga yang tetap damai, bahu membahu, membuktikan bahwa tak ada yang bisa merenggangkan hubungan mereka.
Sampai jumpa. Happy blogging!
Tidak ada komentar
Komentar, yuk!